Dream Theater,
my most favorite band, sudah meluncurkan album studionya yang ke
sembilan (jika ditambah album live, maka totalnya adalah 14 album)
berjudul Sytematic Chaos
5 Juni 2007 yang lalu. Namun, perkenalan penulis dengan album ini
dimulai dari sebulan sebelumnya, 6 Mei, di suatu diskusi maya di http://idtfc.com/forum. DT merilis satu lagu “pemanasan” di website resmi label rekamannya http://www.roadrunnerrecords.com, yaitu Constant Motion (CM) dalam bentuk file mp3.
Pertama kali menyetel CM, kesan pertama yang ada dalam benak penulis
adalah “hitam” atau “gelap”. Memang DT adalah sebuah band metal
progresif. Namun, lagu CM ini tampil lebih “gelap” dibanding album Train of Thought (ToT) dan Six Degrees of Inner Turbulance
(SDOIT) yang sudah “gelap”. Maksud kata-kata “gelap” atau “hitam”
disini yaitu musik yang dibalut distorsi gitar yang sangat “tebal” atau
“heavy” layaknya Pantera atau Metallica namun tetap dibalut permainan
instrumen yang “gila” khas DT yang “Pantera nor Metallica absolutely
would never come close to”. Lalu, pukulan drum Mike Portnoy
(MP) terdengar lebih garang dan sangat dominan disini. Namun, ciri
progresif sangat kentara di lagu ini dengan adanya hitungan-hitungan
waktu yang ganjil (dalam arti sebenarnya, yaitu lawan dari genap),
struktur komposisional yang kompleks, dan permainan instrumen yang
berbelit-belit. Semuanya ini khas DT atau khas musik progresif.
Mendengarkan CM sampai tuntas menimbulkan kepuasan tersendiri, dan saya
yakin itu yang dirasakan DT mania di seluruh dunia saat mendengar lagu
ini untuk pertama kalinya. Rasanya, kekangenan akan album baru DT selama
dua tahun terbayar sudah. Di bagian tengah lagu, penulis sempat kagum
pada part instrumental yang dilatari aksi solo drum MP yang wowww! (ada
yang bisa meniru?).
Beberapa hari kemudian, penulis bisa mendapatkan keseluruhan albumnya
dalam bentuk mp3. Padahal, belum resmi diluncurkan. Kesan hitam yang
muncul di awal tadi, mulai sirna saat mendengar dan mencermati album ini
secara keseluruhan.
Secara keseluruhan, band ini telah melakukan perubahan besar pada sound. Album sebelumnya, Octavarium
(8vm), dianggap sebagai titik akhir untuk reinkarnasi band setelah 20
tahun berkarir. Tidak ada lagi nugget-nugget (simbol dari pesan-pesan
tersembunyi) yang menjadi ciri penting album 8vm. Dus, tampak
peningkatan skill masing-masing personal yang sebenarnya merupakan
fungsi dari jam terbang mereka di kancah musik. Dan, yang penulis
kagumi, ada peningkatan kualitas yang luar biasa pada vokal James Labrie
(JL) dibanding album-album sebelumnya. Hal ini bisa diamati terutama di
lagu-lagu balad seperti Forsaken dan The Ministry of Lost Soul (TMoLS).
Sebenarnya, pola permainan individual DT masih terdengar sama dengan
yang terdahulu. Meski menurut penulis, dengan “warna” baru ini, peran
kibor dan bass sedikit dikorbankan oleh distorsi gitar JP yang sangat
dominan dan gebukan drum MP. Namun, pola itu sebenarnya sudah tampak
dari album-album sebelumnya, dan disini lebih terasa nuansanya. Ketika John Petrucci (JP) dan MP berperan sentral dalam permainan instrumental, Jordan Rudess
(JR, kibordis) turut membangun jalinan instrumen dari “belakang” dan
terkadang meledak dengan aksi solo yang “gila” atau terkadang ikut
mengimbangi permainan speed JP. Lalu, John Myung (JM, basis) mendukung lewat fondasi bass yang mampu “mengisi” bagian instrumental dengan sangat elegan.
Kesan progresif sudah dikeluarkan di awal album yaitu lagu In The
Present of Enemy I (ITPOE I). Tiga ciri metal progresif, yang sudah saya
sebut di atas, sudah bisa dinikmati dari hitungan nol lagu tsb.
Beberapa efek digunakan bergantian untuk mendukung tema epik (ciri
progresif ala DT). Butuh waktu 5 menit untuk mulai mendengarkan vokal JL
di awal album ini.
Dari judul dan lirik-liriknya, album ini terlihat sangat epik. Dua
jempol layak diacungkan buat JP dan MP. Keduanya jenius dalam menulis
lirik yang dalam dan penuh arti. Lagu CS dan Repentace masih bercerita
tentang kisah perang MP melawan drug & drink, seperti lagu The Glass
Prison (SDOIT), This Dying Soul (ToT), dan Root of All Evil (8vm).
Namun, bukan kelanjutan dari RoAE karena album ini dinyatakan tidak
berhubungan dengan album-album sebelumnya (DT selalu menghubungkan antar
album, seperti dengan menggunakan nada terakhir di album sebelumnya
sebagai nada pertama di album setelahnya). Lagu Repentace dibuka dengan
nada dan lirik This Dying Soul. Apakah DT sudah kehabisan ide? Tidak.
Ini bukti kejeniusan mereka dalam mengkoneksi dan merangkai antar lagu.
Fragmen-fragmen lagu yang terangkai seperti ini banyak dijumpai di album
8vm, malah menjadi ciri DT.
Lalu, berangkat dari In The Name of God di ToT dan Sacrified Sons di
8vm, DT mulai menggemari menulis lirik tentang perang. Rupanya,
berlarutnya permasalahan perang Irak yang berbuntut protes panjang
rakyat AS tak luput dari jangkauan DT. Topik peperangan yang berakar
dari spirit kepercayaan di Timur Tengah tergambar di lagu ITPOE I dan II
(pembuka dan penutup album), Prophets Of War, dan TMoLS. Yang terakhir
disebutkan ini adalah lagu favorit penulis. Lagu berdurasi hampir 15
menit yang penuh “jiwa”, yang dilukiskan dengan sentuhan melodi gitar JP
yang sangat epik dan dibawakan oleh vocal yang sempurna oleh JL.
Warna ballad yang diusung Forsaken, tembang kedua, sangat berbeda dengan
tema ballad di album-album sebelumnya seperti Spirit Carries On atau
Anna Lee. Kesan distorsi yang heavy serta permainan kibornya
mengingatkannya pada “Call Me When You’re Sobber” milik Evanescence.
Lagu ke empat, The Dark Eternal Night, adalah lagu ter’heavy’ dari
keseluruhan lagu di album ini. Walau terkesan heavy metal dan liar,
warna progresif tetap muncul terutama di bagian instrumental yang
lagi-lagi, what an amazing intricacy! Sebuah warna baru dari musik
progresif ala DT. Di sini, suara JL sering dibumbui oleh suara MP yang
memang berkarakter lebih berat.
Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula album ini. Satu hal yang
penulis sayangkan adalah adanya sempilan aliran/warna “Muse” yang sangat
kentara di lagu Prophet of War yang mengingatkan DT mania pada lagu
Never Enough di 8vm. Lagu ini merusak keseluruhan tatanan warna musik
baru DT yang ingin diperkenalkan ke penggemarnya.
Judul album, Systematic Chaos, mungkin (menurut penulis) berangkat dari
definisi metal progresif, yaitu (seperti yang telah disebutkan di atas)
keruwetan struktur dan komposisi lagu. Keruwetan (intricacy) atau
kekacaubalauan biasa disebut dengan istilah “Chaos”. Namun, dibalik
keruwetan itu, terdapat pola atau susunan keteraturan yang sistematik.
Dari sinilah terbilang istilah Systematic Chaos. Sepertinya, dari album
ini, mereka mengkonstruksi definisi musik metal progresif itu ke dalam
lagu-lagunya.
Keseluruhan, album ini luar biasa. Wajib dikoleksi untuk para penggemar
Dream Theater, pecinta musik beraliran metal, atau bahkan untuk
band-band sebagai referensi bermusik. Meski musik mereka penuh balutan
skill individual yang luar biasa, namun jangan harap album ini bakal
meledak di seluruh dunia, karena konsep “systematic chaos” –nya yang
kurang familiar di kuping umum.
Last, listening to their music will present you apparently a worthwhile (and educational) musical experience.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar